Wednesday, February 2, 2011

Beranda » Ustadz (Da’i): Antara Tabligh dan Amplop

Ustadz (Da’i): Antara Tabligh dan Amplop

 Hadits Nabi tentang Ulama adalah pewaris nabi sudah cukup mashur di kalangan kaum muslim. Salah satu makna dari hadits tersebut adalah tugas para nabi yang dilanjutkan oleh para ulama. Tentu yang dimaksud adalah pewaris tabligh atau penyampai risalah dakwah.
Sebagai pewaris mulia, para ulama yang saat ini juga identik dengan ustadz atau da'i yang lebih banyak berperan dalam menyampaikan risalah dakwah Islam cukup banyak ditemui di negeri ini yang mayoritas beragama Islam. Bahkan pernah juga "dipentaskan" oleh salah satu TV swasta untuk mencari da'I idola dalam rangka mencari ustadz atau da'I yang mumpuni dalam mendakwahkan risalah Islam meski tidak terlepas dari "rasa" keidolaan seseorang dalam memilih da'I tersebut.
Dan adalah satu hal yang umum jika ustadz atau da'I menyampaikan ceramah (baca: tabligh) di masjid-masjid setelah bertabligh, ustadz tersebut atau da'I tersebut "dibekali" sebuah amplop sebagai tanda "terima kasih" atas tablighnya dan sering dikatakan sebagai amplop biaya perjalanan ustadz dalam menyampaikan ceramah.
Pertanyaan yang ingin saya sampaikan di sini adalah: Jika memang seorang ustadz adalah pewaris nabi dalam hal bertabligh pantaskah ia menerima amplop yang notabene nama lain dari hal yang berbau duniawi? Bagaimana relavansi hadits di atas dengan ayat Al Quran yang begitu banyak tentang penolakan para nabi (tidak hanya Nabi Muhammad saja tentunya) akan "upah, atau jasa atau imbalan" dari menyampaikan risalah dakwah? Baca di surat: Ash Shu'aara ayat 109, 127, 145, 164,180, atau di surat Hud ayat 51 atau di surat Saad ayat 86 atau di surat Al Furqaan ayat 57 dan masih banyak lagi.
Berikut penulis kutipkan salah satunya dari surat Al Furqaan ayat 57:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَىٰ رَبِّهِ سَبِيلًا

Katakanlah : "Aku (Muhammad) tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya.
Pembaca yang budiman, pantaskah seorang ustadz atau da'I menerima upah atas hasil dakwahnya di masjid-masjid atau di sebuah forum lainnya? Pantaskah amplop tersebut untuk mereka jika kita merujuk ke hadits nabi di atas?
Penulis tentu menyadari jika pertanyaan tersebut diajukan ke beberapa ustadz yang selama ini "biasa" menerima amplop jawaban yang akan disampaikan olehnhya pastilah berupa "excuse" bahwa hal itu sah-sah saja karena merupakan pengganti uang ongkos perjalanan.
Tetapi bukankah Nabi dan para sahabat tidak pernah meminta imbalan apapun setelah berdakwah?
Ada seseorang ustadz (maaf saya tidak mungkin menyebutkan namanya) yang dalam ceramahnya atau khutbahnya sering bertemakan tentang jihad tetapi setelah berdakwah dan turun dari mimbar ia menerima amplop sebagai "upah" dari dakwahnya. Pertanyaannya adalah bagaimana letak relevansi ceramahnya dengan ayat berikut ini:
وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ 
dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu (As Saff 11)
Bukankah berdakwah bagian dari jihad fi sabilillah. Jika berdakwah bagian dari jihad yang mengorbankan HARTA (baca: UANG) mengapa ketika menyampaikan ceramah justru menerima HARTA (baca: UANG)? Dimana letak JIHAD yang dimaksud?
Pembaca yang budiman, ustadz atau da'I bukanlah sebuah profesi yang mana setelah ia mentutaskan pekerjaan menerima imbalan atau upah. Tetapi selama ini yang kita lihat tidaklah demikian.
Penulis memiliki juga seorang teman yang mencantumkan profesinya di KTP sebagai USTADZ. Jika profesinya adalah ustadz maka sah-sah saja baginya menerima amplop hasil dari jerih payah profesinya tersebut tanpa peduli dengan ayat-ayat yang menjelaskan penolakan para Nabi akan upah hasil dari dakwah atau tentang berjihad.
Yang lebih "dahsyat" lagi adalah ada ustadz atau da'I yang mencantumkan "biaya dakwahnya" sekian juta untuk diundang menyampaikan ceramahnya entah karena ia memiliki "kepopuleran" yang pantas dengan biaya tersebut atau karena ia memiliki manajemen yang mengurusi jadwal dakwahnya hingga perlu mencantumkan biaya.
Maka adalah tidak mengherankan jika selama ini ceramah-ceramah agama belum menghasilkan perubahan di umat secara nyata karena boleh jadi selama ini para ustadz banyak yang menerima amplop setelah berdakwah.
Ada seorang ustadz ceramah di masjid di daerah Jati Kramat Bekasi, dalam ceramahnya ia mengatakan tanpa malu-malu ia berkata: "Para jamaah sekalian di akhir ceramah saya ini saya juga dikenal dengan ustadz SIMATUPANG, bukan karena saya orang Batak tetapi SIMATUPANG berarti Siang Malam Siap Tunggu Panggilan." Dan setelah turun dari mimbar ceramah Ramadhan ia menerima amplop hasil dari ceramahnya. Jadi SIMATUPANG yang ia maksud juga berarti Siang Malam Siap Menerima Amplop.
Dan sering juga kita mendengar ada ustadz yang berkata: "Saya kalau ceramah tidak mau menerima amplopnya tetapi isinya".
Demikianlah adanya fenomena ustadz yang ada selama ini. Menyampaikan dakwah adalah bagian dari jihad tetapi jika ini disisipi oleh nilai-nilai duniawi yang selama ini berupa amplop maka kita dapat menyaksikan Indonesia kita selama ini meski kita umat Islam adalah mayoritas. Bagaimana pendapat Anda?