Wednesday, February 23, 2011

Beranda » Pidato Nobel Tawakkul Karman

Pidato Nobel Tawakkul Karman

Oleh Ahmad Syafii Maarif*

Nama lengkap pemenang hadiah Nobel Perdamaian asal Yaman ini adalah Tawakkul ‘Abd al-Salam Karman (32), seorang ibu beranak tiga. Bersama dengan dua tokoh perempuan lain, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf (73) dan aktivis perdamaian Liberia Leymah Gbowee (39), Tawakkul Karman pada 10 Desember 2011 berbagi anugerah Nobel Perdamaian di Oslo dalam sebuah upacara yang sangat bergengsi.

Berita sebagai pemenang ini diterima Tawakkul saat berada di tenda perlawanan terhadap Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, seorang diktator yang telah berkuasa selama 33 tahun. Tawakkul adalah pemenang hadiah Nobel termuda sejak hadiah ter hormat itu diberikan pertama kali pada 10 Desember 1901, 50 tahun setelah Alfred Bernhard Nobel wafat.

Tawakkul Karman juga dikenal sebagai Ibu Revolusi Yaman sekalipun banyak ulama San’a yang menyalahkan dan menuduhnya sebagai penghancur moralitas kaum perempuan. Kritik ini tidak dihiraukannya karena keyakinan bahwa kezaliman dan despotisme harus diakhiri di negerinya.

Laki-laki dan perempuan sama-sama punya kewajiban untuk meniadakan rezim despo tik. Tawakkul dengan dukungan penuh dari suaminya adalah salah seorang tokoh puncak para demonstran muda yang selama berbulan-bulan telah memimpin perlawanan damai terhadap rezim yang sedang berkuasa. Selama perlawanan itu, Tawakkul pernah terluka dan ditahan, tetapi semangat juangnya tidak pernah kendur. Dia adalah salah seorang anggota terkemuka dari Partai Ishlah, sebuah partai oposisi utama di Yaman. Dengan mengikuti pidato Nobel itu, semakin sadarlah kita tentang betapa dalamnya keresahan kaum perempuan di dunia Arab yang berada di bawah kultur patriarki dan mendominasi selama ratusan tahun. Sekarang, dominasi itu harus dihalau sehingga posisi laki-laki dan perempuan ditempatkan pada kesetaraan dan keadilan.

Berikut ini adalah bagian-bagian penting dari pidato Nobel Tawakkul yang dapat diakses dalam tiga bahasa, Arab, Inggris, dan Swedia, yang saya beri komentar. Pidato tersebut dalam versi bahasa Inggris yang terdiri atas 3.453 perkataan dan 17.156 karakter tanpa spasi. Tawakkul mengatakan bahwa anugerah Nobel itu bukan hanya untuknya, melainkan juga untuk semua anak muda yang telah berjuang menegakkan keadilan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia yang terabaikan selama puluhan, bahkan ratusan tahun di negerinya.

“Mimpi Alfred Nobel tentang sebuah dunia di mana perdamaian menang dan peperangan menghilang, memang belum tercapai, tetapi harapan untuk membuatnya menjadi kenyataan telah semakin membesar dan upaya untuk meraihnya telah menjadi berlipat. Anugerah Nobel Perdamaian masih menawarkan harapan itu sebagai momentum spiritual dan kehati-hatian. Selama lebih dari 100 tahun, anugerah itu telah berdiri kokoh sebagai bukti tentang nilai-nilai perjuangan damai untuk hak-hak, keadilan, dan kebebasan, serta juga sebagai bukti tentang bagaimana palsunya kekerasan dan peperangan dengan segala akibat yang merusak dan menghancurkan.”

“Saya selalu percaya bahwa perlawanan terhadap penindasan dan kekerasan hanyalah mungkin ditandangi tanpa bertumpu pada penindasan dan kekerasan serupa. Saya selalu percaya bahwa peradaban umat manusia adalah buah dari upaya bersama perempuan dan laki-laki. Jadi, manakala perempuan diperlakukan secara tidak adil dan tersingkir dari hak alaminya dalam proses ini, maka segala kekurangan sosial dan penyakit-penyakit kultural akan terhampar, serta pada ujungnya seluruh komunitas, lakilaki dan perempuan, akan sama menderita.

Solusi bagi isu-isu perempuan hanyalah dapat dicapai dalam sebuah masyarakat bebas dan demokratis. Di dalamnya, energi manusia dimerdekakan, baik energi perempuan maupun laki-laki, secara bersama-sama. Peradaban kita dinamakan peradaban ma nusia dan tidak disangkutkan hanya kepada jenis laki-laki atau perempuan.” Isu gender amat terasa dalam pidato Tawakkul dan itu sangat wajar dalam sebuah masyarakat yang pincang.

Adalah sebuah kejutan sejarah seorang perempuan Arab memimpin demonstrasi perlawanan terhadap rezim otoriter karena selama ini, mereka telah terbiasa hidup dalam ketertindasan dalam bilangan abad. Bahkan, di Arab Saudi yang mengaku sebagai pengawal dua kota suci, ketertindasan perempuan Arab dengan pembenaran syariat telah lama jadi rahasia umum. Coba Anda bayangkan punya SIM saja sudah haram. Agama macam apa ini?

Menjadi semakin menarik seorang Tawakkul Karman dan Partai Ishlah (Partai IM Yaman-red) yang biasa dikategorikan sebagai partai pendukung syariah telah tampil ke lapangan untuk meruntuhkan sistem politik yang anti-rakyat. Tanpa membawa slogan syariah. Dalam pidato Nobelnya, tak satu pun kata syariah itu muncul. Tetapi, bahwa maqashid al-syari’ah (tujuan utama syariah) bagi tegaknya keadilan, kemerdekaan, dan persamaan sangat dirasakan dalam pidato itu. Prinsip-prinsip ini telah lama terkubur di bawah debu sejarah dalam masyarakat Yaman sebagaimana juga berlaku di seluruh dunia Arab. Kutipan-kutipan selanjutnya akan menjelaskan kepada kita bahwa Tawakkul memahami benar betapa ketidakadilan sejarah telah berlangsung, tidak hanya di dunia Arab, tetapi juga di bagian-bagian dunia yang lain.

Sejak Anugerah Nobel Perdamaian pertama tahun 1901, berjuta orang telah mati dalam berbagai peperangan yang semestinya dapat dihindari sekiranya ada sedikit kearifan dan keberanian. Negeri-negeri Arab turut merasakan akibat peperangan tragis ini sekalipun bumi mereka adalahbumi kenabian dan risalah ketuhanan yang menyeru kepada perdamaian.

Dari bumi inilah datang Taurat dengan membawa pesan, "Kamu jangan membunuh dan janji Bibel, "Rahmat bagi pejuang perdamaian, serfa pesan terakhir dari Alquran yang rpfinekankan. "Wahai kalian yang beriman, masuklah kalian ke dalam perdamaian, seluruhnya." Dan, ada lagi peringatan bahwa "barang siapa membunuh seorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia." (QS al-Maidah 32).

Di mata Tawakkul, perbuatan pembunuhan tanpa alasan yang benar adalah perbuatan kriminal terhadap seluruh umat manusia sebagaimana Alquran telah menegaskan sejak abad-abad silam. Tetapi, pembunuhan dalam Revolusi Arab oleh rezim penguasa masih saja berlangsung.

Selanjutnya dikatakan, "Perdamaian dalam suatu negeri tidak kurang pentingnya daripada perdamaian antara bangsa-bangsa. Peperangan bukan hanya sebuah konflik antara negara. Masih ada lagi tipe perang lain yang lebih getir, yaitu perang yang dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin despot yang memeras rakyatnya sendiri. Ini adalah pe-rang yang dilakukan oleh penguasa tempat rakyat memercayakan kehidupan dan nasibnya, tetapi mereka telah mengkhianati kepercayaan itu. Ini adalah perang oleh penguasa yang kepadanya rakyat telah memercayakan keamanan, tetapi justru senjata malah dibidikkan kepada rakyatnya sendiri. Inilah perang yang sekarang sedang dihadapi oleh negara-negara Arab.Tawakkul dalam pidato Nobelnya tanpa tedeng aling aling menyerukan anak-anak muda Arab untuk meruntuhkan rezim-rezim yang tak beradab itu.

Bagi Tawakkul, damai tidak semata-mata menghentikan perang, "... tetapi juga menghentikan penindasan dan kezaliman. Di kawasan Arab kami, telah berlaku perang brutal antara pemerintah dan rakyat. Kesadaran kemanusiaan tidak mungkin berada dalam perdamaian, sementara orang menyaksikan anak-anak muda Arab ini dalam usia yang tengah mekar sedang diberondong oleh mesin-mesin maut yang dilepaskan atas mereka oleh para tiran." Para tiran inilah yang meminta fatwa kepada ulama kerajaan bagi pembenaran kelangsungan kekuasaan zalim mereka. Sekarang semuanya telah berubah berkat revolusi anak muda yang semakin-terdidik.

Jika di Kairo terkenal Lapangan Tahrir, di Sanaa ada Lapangan Taghyir (Lapangan Perubahan). Di sinilah anak-anak muda Yaman berkumpul dan berorasi menuntut perubahan sistem kekuasaan, dari otokrasi menuju sistem demokrasi. Di sini pulalah Tawakkul selama berbulan-bulan membunyikan lonceng perubahan itu tanpa henti.


Lonceng itulah pada akhirnya yang memaksa penguasa negeri tersebut menyerahkan kekuasaannya, sekalipun tidak mulus. Siapa tahu negeri-negeri lain semisal Suriah, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, bahkan Saudi Arabia bakal menyusul. Kita ikuti lebih jauh pidato Nobel itu. "Banyak bangsa telah menderita, termasuk rakyat Arab, sekalipun mereka tidak berada dalam suasana perang, tetapi juga tidak dalam suasana damai. Perdamaian di mana mereka hidup adalah sebuah perdamaian kuburan palsu, perdamaian berupa menyerah kepada tirani dan korupsi yang memelaratkan rakyat dan membunuh harapan mereka untuk sebuah masa depan lebih baik. Hari ini, seluruh komunitas umat manusia wajib berdiri bersama rakyat kami dalam perjuangan damai mereka untuk kebebasan, martabat, dan demokrasi. Sekarang rakyat kami telah memutuskan untuk memecah kesunyian dan berupaya untuk hidup dan mewujudkan makna ungkapan abadi dari Khalifah Umar bin Khattab Sejak kapan kamu memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka melahirkan mereka sebagai manusia merdeka."

Ungkapan antisipatif Umar ini rupanya telah semakin menambah amunisi semangat anak-anak muda Arab itu untuk perubahan. Harapan kita, semoga perjuangan anak-anak muda ini akan membuahkan hasil maksimal. Tuntutan besar apa yang diminta oleh Revolusi Arab ini, khususnya untuk Yaman? Hanya satu tuntutan, kata Tawakkul, yaitu "perubahan damai dan berupaya meraih kehidupan bebas dan bermartabat dalam sebuah negara demokrasi dan sipil yang diperintah oleh the rule of law (kekuasaan berdasarkan hukum). Negara ini akan dibangun di atas reruntuhan kekuasaan yang menindas, bercorak militer, korup, dan kekuasaan polisi keluarga terbelakang, yang terus membawa Yaman menuju pinggir jurang kegagalan dan kehancuran selama 33 tahun." Inilah wajah buram rezim Ali Abdallah Saleh di mata anak-anak muda Yaman yang disuarakan dengan lantang di mimbar Nobel oleh Tawakkul Karman, perempuan pemberani itu. Suara ini tidak mungkin lagi dibungkam untuk selama-lamanya. Berabad-abad sudah, rezim-rezim dinasti korup telah menebarkan bencana demi bencana atas diri dan martabat rakyat Arab yang bernasib malang itu.

Akhirnya, Tawakkul Karman menjelaskan empat tahap revolusi yang tidak boleh dilampaui, yaitu 1. Menumbangkan sang diktator dan keluarganya; 2. Menumbangkan aparat keamanan dan militer serta jaringan nepotismenya; 3. Mendirikan kelembagaan negara transisional; 4. Bergerak ke arah legitimasi konstitusional dan mendirikan negara demokratis dan sipil modern.

Untuk kasus Yaman, jalan menuju keempat tahap itu masih dalam proses kritikal, berliku, dan sarat konflik. Yaman bukanlah negara makmur sebagaimana negara-negara Arab yang kaya minyak. Perhatian dunia terhadap negara ini baru marak setelah Tawakkul Karman menyampaikan pidato bersejarahnya di mimbar Nobel, Oslo, pada 10 Desember 2011, beberapa minggu menjelang tahun baru 2012.
sumber ; republika.