Thursday, February 17, 2011

Beranda » KESULTANAN BANJAR : Bagian Khilafah yang Menerapkan Syariah Islam

KESULTANAN BANJAR : Bagian Khilafah yang Menerapkan Syariah Islam

 Oleh : Fadlan Hidayat

Dakwah yang dilakukan oleh negara tidak bisa dipungkiri, memberi dampak yang luar biasa. Pada masa ke­khilafahan Islam tegak, dakwah Islam menelusup setiap jengkal belahan dunia hingga mencapai Nusantara. Sebagaima­na daerah Nusantara lain yang men­dapatkan cahaya Islam, Kalimantan Selatan, Banjar pun demikian.
Pada tahun 808 H/1404 M ke­khalifahan Turki Utsmani, melalui Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad jalabi atau Celebi dari
Kesultanan Utsmani) per­tama. kali mengirim utusan ulama ke pulau jawa (dan kelak dikenal dengan nama Walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode. Kehadiran dakwah para ulama Walisongo sangat memengaruhi kecepatan perkembangan Islam di Nu­santara, termasuk berdirinya Kesultanan Banjar setelah adanya dakwah Sunan Giri dan interaksi dengan Kesultanan Demak.


Sebelum Islam hadir, bumi Kali­mantan dipengaruhi animisme-dinamis­me, lalu Hindu. Negara Dipa dan Negara Daha adalah dua kerajaan yang berdiri sebelum Kesultanan Islam Banjar. Ne­gara Dipa dan Negara Daha ibukotanya berada di bagian hilir Sungai Negara. Dengan bandarnya bernama Muara Rampiau, sedangkan Negara Daha di Muara Hulak dengan bandarnya di Muara Bahan.
Wilayah geografis kerajaan yang berada di tepi sungai besar, berpengaruh pada kontak dengan pihak luar, terutama dalam aspek perdagangan. Muara Rum­piau dan Muara Bahan, dua pelabuhan Negara Dipa dan Daha karena letaknya yang stategis, Bering dikunjungi oleh
pedagang Cina, Melayu, Bugis, Ma­kassar, jawa, Bali, Jambi, Madura, Makau dan Kaling (Sejarah Banjar, Ideham, et.al,2003).


Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi per­dagangan yang ada, Islam didakwahkan oleh pedagang-pedagang Muslim kepada rakyat.
Masuknya Islam berlangsung de­ngan damai di kawasan ini melalui tangan pedagang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi per­dagangan dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis ba­rang-barangnya kepada penduduk yang fakir.
Di samping itu juga terdapat ke­terangan mengenai salah seorang pe­muka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur inilah Pangeran Samudera mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak.
Pangeran Samudera sendiri kemu­dian masuk Islam dan mengganti na­manya menjadi Sultan Suriansyah. Sekaligus menjadi Sultan pertama dalam Sejarah Kesultanan Banjar yang berdiri pada hari Rabu 24 September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkam­pungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.


Pasca berdirinya Kesultanan Banjar, Islam pun berkembang pesat di tengah-tengah rakyat Banjar. Islam dipeluk oleh segenap rakyat yang berada di Kesultanan Banjar. Islam demikian, tidak saja menempati kedudukan sebagai agama atau kepercayaan bagi rakyat Banjar. Namun Islam juga menjadi satu­satunya sumber hukum di seluruh wilayah Kesultanan Banjar (Ibid, 2003:123). Hal ini menandakan bahwa Kesultanan Banjar merupakan Kesul­tanan yang berdiri dengan pondasi akidah Islam.
Penerapan hukum yang hanya berlandaskan kepada Islam terekam oleh sejarah. Peninggalan dari masa pemerin­tahan Sultan Adam al Wasik Billah be­rupa undang-undang yang bersumber dari ajaran Islam hingga kini masih dikenal dengan UU Sultan Adam.
Pada mukadimah Undang-undang Sultan Adam, dapat diketahui bahwa maksud dari dikeluarkannya undang­undang tersebut adalah untuk men­dorong ketaatan segenap rakyatnya atas agama Islam, mengatasi perbedaan dan. kemudahan memutuskan perkara. Undang-undang ini berisikan 38 pasal dengan komposisi untuk mengatur aga­ma dan peribadatan, tata pemerintahan, perkawinan, hukum peradilan, tanah dan peralihan.

Kedatangan kolonialis Belanda di Nusantara tak pelak mengganggu stabi­litas kesultanan-kesultanan yang ada, tanpa terkecuali turut memengaruhi Ke­sultanan Banjar. Ketika Belanda ingin memperluas pengaruhnya ke luar Pulau Jawa, maka Kalimantan Selatan meru­pakan salah satu daerah yang menjadi tujuannya. Dalam Api Sejarah, Ahmad Mansyur Suryanegara mengatakan bah­wa keputusan Belanda untuk menjajah Kalimantan Selatan dikarenakan adanya batubara di sana.
Belanda mulai mencampuri urus­an-urusan Kesultanan Banjar. Belanda ikut mengintervensi jalannya suksesi ke­pemimpinan di Kesultanan Banjar dan sengaja mengacaukannya. Tidak heran kemudian, menimbulkan keretakan di tubuh kesultanan. Hal ini disebabkan politik belah bambu yang lazim dilaku­kan oleh penjajah.
Sebagai respon atas intervensi Belanda, pemonopolian dan penguasaan batu bara, rakyat melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Perang pun berkecamuk di berbagai wilayah Kesul­tanan Banjar. Perang yang disebut Perang Banjar (1859-1905) melahirkan tokoh-tokoh yang menentang penja­jahan Belanda.
Pangeran Antasari (1809-1862) merupakan satu di antara sekian tokoh yang bersama dengan rakyat melakukan perang dengan Belanda. Pangeran Anta­sari diangkat oleh para ulama, bang­sawan, dan rakyatnya sebagai Penem­bahan Amiruddin Khalifatul Mukminin atau pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Dalam suatu fragmen pengang­katan Pangeran Antasari, ia menyerukan pada rakyatnya “hidup untuk Allah, mati untuk Allah”. Ia pun memotivasi rakyat­nya agar tidak menyerah dalam per­lawanan melawan penjajah Belanda. “Haram menyerah, waja sampai kapu­ting”, yang maksudnya Karam untuk menyerah, selalu kuat bagaikan baja (waja) dari awal sampai akhir (ka­puting).
Perang melawan Belanda juga dimobilisasi oleh ulama dengan memberikan pemahaman kepada rakyat, bahwa perang melawan Belanda adalah jihad fi sabilillah. Teriakan Allahu Akbar, kerap bergema di setiap medan laga melawan pasukan penjajah Belanda.

Syekh Muhammad Arsyad al­Banjari (1710-1812), merupakan ulama Kesultanan Banjar yang berkontribusi besar dalam penyebaran dan perkem­bangan dakwah Islam. Jasanya tidak raja dirasakan oleh rakyat Kalimantan Se­latan, melainkan juga Nusantara bahkan dunia Islam secara umum.
Ulama kelahiran Desa Lok Gabang, 15 Shafar 1112 H atau 19 Maret 1710 M ini pernah belajar ke Mekkah dan Madinah. Di sana ia menimba ilmu dari para ulama yang mumpuni seperti Syeikh Ataillah Bin Ahmad al-Misriy, Syeikh Muhammad Bin Sulaiman al-Kurdiy, Syeikh Muhammad Bin Abd Karim al­Qadiri, Syeikh Ahmad Bin Abd Mun’im al-Damanhuri Syeikh Hasan Bin Ahmad ‘Akisy al-Yamani, Syeikh Salim Bin Abdullah al Basri dan yang lainnya. Di Mekkah ia menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu selama 30 tahun dan di Madinah 5 tahun.
Di antara sekian banyak karyanya, Kitab Sabilal Muhtadin merupakan karya monumental dan begitu familiar bagi kaum Muslimin. Masyurnya kitab ini sampai turut menambah perbendahara­an di perpustakaan besar di Mekkah, Mesir, Turki, dan Beirut. Di samping populer di kawasan Indonesia, kitab ini juga merambah Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Brunei. Bahkan sebagai takzim atas kontribusinya dalam dakwah Islam di bumf Kalimantan Selatan, nama Sabilal Muhtadin juga disematkan pada sebuah Masjid ternama di Banjarmasin.
Syeikh Muhammad Arsyad Al Ban­jari melakukan perbaikan dalam aspek peradilan dengan mengusulkan kepada Sultan untuk membentuk Mahkamah Syariah. Selain itu dikeluarkannya undang-uridang Sultan Adam pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857) adalah atas do­rongan sang Syekh.

Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan dan berdirinya Kesultanan Banjar tidak dapat dilepaskan dari dakwah ke seluruh penjuru dunia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari politik luar negeri pada era kekhilafahan Islam, khususnya pada masa Khilafah Turki Utsmani. Kesultanan Banjar juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari wilayah Islam dan menerapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya undang-un­dang dan peraturan yang dilaksanakan.
Itulah bukti sejarah pada masa lalu sebelum Nusantara dikuasai penjajah, bahwa di Indonesia pernah diterapkan Syariah Islam berabad-abad lamanya oleh negara di bawah pemerintahan Ke­sultanan yang terikat dengan Khilafah.