Tuesday, February 8, 2011

Beranda » Kegembiraan di ‘Taman Ria’ Gaza

Kegembiraan di ‘Taman Ria’ Gaza


JALUR GAZA, Ahad (Sahabatalaqsha.com): Hidup di bawah pengepungan ekonomi dan militer Zionis di Gaza sungguh susah bagi kebanyakan penduduk Gaza. Semua barang susah didapat dan sangat mahal. Makan sekali sehari “sudah bagus” karena memang sangat banyak keluarga yang menumpukan kehidupan mereka dari sumbangan LSM dari sana sini. Ancaman hujan bom sewaktu-waktu oleh Zionis justru menjadi menu sehari-hari.

Tapi selama Tim Sahabat Al-Aqsha (SA2Gaza) di Gaza ini, sudah beberapa kali menghadiri dan menyaksikan pesta pernikahan, baik dari kalangan masyarakat biasa maupun para mantan tahanan Zionis. “Begitu mereka dibebaskan dari penjara-penjara Zionis sesudah pertukaran mereka dengan Gilad Shalit, kami cepat-cepat kawinkan mereka,” komentar ibunda seorang pengantin putri.

Beberapa kali pula kami mengunjungi dan melewati tempat-tempat rekreasi, termasuk di tepi pantai Laut Mediterania yang breathtakingly beautiful - begitu indah sampai sesak nafas kami mengagumi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Puluhan ‘ABG’ Gaza bergerombol-gerombol di pantai Madinatul Azda’, tertawa-tawa dan bercanda sebelum kemudian menceburkan diri ke air laut yang sangat dingin di bawah terpaan angin kencang.
Kota rekreasi seluas lebih dari 50 hektar ini didirikan oleh pemerintah Palestina di Gaza pimpinan Perdana Menteri Ismail Haniyah. Kawasan ini mereka bebaskan dengan darah dan nyawa dari penjajah Zionis Yahudi. Sampai Agustus 2005, tidak seorang Palestinapun masuk ke kawasan ini. “Jangankan menikmati kesuburan dan keindahan tanah di sini, bernafas di sinipun kami dilarang,” kata seorang lelaki yang sedang mengantar anak-anaknya berekreasi.
Di salah satu tempat rekreasi di tepi pantai di kawasan utara Gaza, keluarga-keluarga membawa anak-anak berjalan-jalan di tepi pantai. Pelabuhan Ashdod yang dikuasai Zionis Israel nampak di arah utara. Pada saat yang sama, beberapa kilometer dari garis pantai, sedikitnya lima kapal angkatan bajak laut Zionis mengawasi dan siap menyerang sewaktu-waktu.
Di tempat rekreasi lainnya, ratusan bocah dan remaja ramai bermain pasir, ayunan dan jungkat-jangkit berwarna-warni sementara para bapak, ibu, bibi, paman, nenek dan kakek duduk-duduk di pasir menunggu matangnya potongan-potongan daging ayam yang mereka panggang, menyebarkan asap dan aroma yang bikin air liur menetes.
Ketika relawan SA2Gaza mendekat untuk mengambil gambar, salah seorang bapak mengambil sepotong ayam dan dengan ramah menawarkannya kepada kami. Padahal, kami bisa melihat bahwa jumlah potongan ayam itu tidaklah sebanyak jumlah anak yang di sekitarnya!
Jangan bayangkan taman rekreasi seperti yang ada di Ancol, Jakarta. Taman rekreasi di Gaza sangat sederhana, kalau menggunakan ukuran Jakarta. Seperti yang disebut di atas, yang ada hanyalah ayunan, beberapa perosotan, jungkat-jangkit dan monkey bars - alias palang-palang untuk memanjat baik yang dari besi maupun tambang. Yang tersedia sangat banyak adalah kegembiraan dan riuh rendah canda anak-anak Gaza bersama keluarga-keluarga mereka.

 
 

“Katanya hidup di bawah pengepungan Zionis itu berat,” komentar seorang relawan kita kepada seorang ibu. Hampir di saat yang bersamaan terdengar suara gemuruh pesawat tempur Zionis petantang petenteng di langit Gaza. “Tapi kami lihat kalian terus saja bikin pesta pernikahan, bikin acara rihlah dengan anak-anak seolah-olah tidak ada apa-apa.”
Si Ibu menghela nafas. “Dari empat anak perempuan saya, ada satu orang yang sangat trauma dan selalu ketakutan mendengar suara ledakan atau suara pesawat. Yang lainnya juga takut, tapi sudah lebih terbiasa. Banyak anak seperti anak saya ini di sini… Tapi kenapa kami terus mengadakan pesta pernikahan, mengadakan rekreasi dan punya anak banyak-banyak, kenapa kami tertawa dan tidak menangis terus menerus? Karena kami harus terus hidup.”
Si Ibu melanjutkan, “Allah menetapkan fitrah manusia untuk hidup, menikah, beranak-pinak. Kami mengadakan pesta pernikahan, lalu punya anak, lalu mengajak anak-anak kami main dan tertawa karena ini adalah sunnatullah.”