Saturday, February 5, 2011

Beranda » Israel Prediksi Ikhwan Pimpin Negara-negara Arab

Israel Prediksi Ikhwan Pimpin Negara-negara Arab


Seorang Orientalis Zionis menolak beberapa ketakutan Israel terhadap konsekuensi revolusi Arab karena hal itu bisa membuka kelompok Ikhwanul Muslimin menguasai pemerintahan di sejumlah negara Arab, mirip dengan apa yang terjadi di Iran atau Gaza, dengan dalih lebih baik ada rezim "liar", tapi stabil dan diketahui , daripada rezim tidak terduga yang tunduk sepenuhnya pada penganut agama, penuh kebencian. Dia
mengisyaratkan akan ketidakmampuan nyata Zionis Israel dalam mendorong atau mencegah penggantian rezim-rezim tersebut. Oleh karena itu, tidak gunanya menakut-nakuti diri kita sendiri.

Dalam pandangan "Rafi Yisraeli", dosen pada isu-isu Timur Tengah di Hebrew University, lingkarang pemuat keputusan Israel harus menghancurkan apa yang dia sebut sebagai "mitos stabilitas", yang menjamin perdamaian dan ketenangan. Dia memberi bukti rezim komunis dunia, yang stabil selama 70 tahun, dan semua yang diinginkan presiden AS Ronald Reagan adalah untuk mengakhiri itu semua, karena terkait dengan "poros kejahatan".

Hari ini, terjadi revolusi di dunia Arab di zaman kita di mana rezim dalam kondisi sangat stabil. Gaddafi di Libya sudah 42 tahun, Mubarak di Mesir dan Abdullah Saleh di Yaman masing-masing selama lebih dari 30 tahun, Assad di Suriah berada di urutan kedua yang berusia lebih empat puluh tahun, Ben Ali di Tunisia lebih dari 20 tahun, dan di Bahrain sistem kerajaan untuk selamanya, selama mereka loyal ke Barat maka dianggap sebagai moderat, yang berarti pengokohan posisi mereka, dan stabilitas mereka sangat penting, namun siapa yang bisa mengalahkan gelombang rakyat, terbebaslah dari mereka dukungan Barat mereka, dan jadilah mereka semacam stabilitas negatif, dan muncullah dari mereka ketidakstabilan baru.

Batu Pondasi

Di Mesir, yang oleh Yisraeli digambarkan sebagai "batu pondasi " dunia Arab, yang pandang tidur oleh mata para pengambil keputusan Barat, termasuk Israel, kini berterbengan banyak peristiwa dibandingkan tempat lain, terlebih karena semua orang berbicara tentang kebangkitan potensi "Ikhwanul Muslimin", yang tampaknya mereka terpecah dengan para pesaing independen mereka, seperti Amr Moussa, Mohamed El Baradei, dalam banyak kasus, seperti masalah negara syariah, tetapi dalam hubungan mereka dengan Israel, Amerika Serikat, dan proses perdamaian di Timur Tengah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mereka. Mereka semua ingin mengkaji kembali perjanjian Camp David yang sudah berusia tiga dekade, hl itu bukanlah sesuatu keharusan bagi kepentingan Israel.

Dan hari ini Suriah berkobar, setelah pada era mantan Presiden "George Bush", mengalami seperti keluar dari Libanon, yang menyebabkannya terisolasi di arena internasional, dan kepemimpinan mereka menghadapi kecaman internasional atas pembunuhan Perdana Menteri Libanon Rafik al-Hariri. Namum munculnya "Barack Obama" membalik konfigurasi yang sedang berlangsung: duta besar Amerika kembali ke Damaskus, Suriah bisa keluar dari isolasi yang dialaminya, dan seputar komitmennya pada "poros kejahatan" untuk dapat diterima dalam kerangka pemikiran yang salah bahwa (Suriah), dengan pengaruh pentingnya di Libanon, bisa memberikan stabilitas yang ia sebut "palsu" di Timur Tengah.

Timbangan Israel

Oleh karena itu, Yisraeli memprediksi bahwa jika revolusi rakyat di Suriah berhasil, ada peluang besar bagi Ikhwanul Muslimin untuk mengontrol kekuasaan, meskipun "Obama" lebih memilih rezim sekuler yang stabil, seperti yang sudah berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Bila itu terjadi maka akan menjadi sistem Islam yang paling ditolak Barat sepenuhnya.

Bagi Israel, timbangannya sangat jelas layaknya matahari. Tidak boleh membuat kesalahan yang nampak di depan mata: tidak ada perbedaan subtansi di antara para penolak dari kalangan Israel atas dasar pandangan nasional mereka atau golongan, karena mereka semua mendapatkan dukungan dari Barat sebagai orang-orang moderat. Israel harus memberikan konsesi bersama mereka, melepaskan warisan dan revolusinya, tekanan pada mereka untuk melakukannya akan meningkat, terutama karena nilai kaum moderat ini sangat berharga bagi Barat, dan media massa mereka.

Sebaliknya, Ikhwanul Muslimin dan turunannya, seperti Hamas, bagi beberapa negara Barat masih dianggap sebagai gerakan "teroris". Negara-negara ini akan mendukung Israel jika negara-negara tersebut tidak memberikan konsesi kepada mereka, dan mereka akan mengetahui bahwa sekiranya Barat tetap mempertahankan haknya dan pertimbangan keamanannya, dia sudah benar, bahkan jika pada akhirnya terpaksa membatalkan perjanjian perdamaian atau melanggarnya secara sepihak. [Situs Central Issues, 09/05/2011. asw, InfoPalestina]